Menunggu
Hetalia (c) Himaruya Hidekaz
---
"Kapan kami akan mendapat kemerdekaan, Nihon-san?"
Pertanyaan itu sukses membuat Jepang nyaris tersedak teh yang diminumnya. Namun, ia berhasil mengendalikan diri, tepat sepersekian detik sebelum air masuk ke dalam tenggorokannya.
Jepang meletakkan gelasnya, balik bertanya dengan nada yang tenang. "Apa maksudmu, Indoneshia-san? Bukankah kita telah membicarakannya saat itu?"
Jujur saja, itu membuat Indonesia sedikit merinding. Namun, ia tak bisa berhenti di sini. Mengepalkan tangan erat, ia meneguhkan tekad untuk melanjutkan percakapan dengan personifikasi dari Dai Nippon itu. Walau pacuan adrenalin semakin kuat terasa.
"Memang. Anda telah menjanjikan kemerdekaan pada kami. Ketika sidang istimewa di Tokyo, 7 September lalu."
"Itu benar." Jepang mengangguk takzim.
"Telah dijelaskan, bahwa Kekaisaran Nihon berjanji akan memberikan kemerdekaan bagi Bangsa Indoneshia. Karena itu—"
"Tapi, kalian hanya mengatakan, "Suatu hari nanti," saat itu. Tidak ada waktu spesifik yang ditetapkan." Indonesia memotong perkataan sang lawan bicara. "Apa saya bisa memegang kata-kata Anda?"
"Lagipula, tak ada jaminan bahwa Anda tidak akan mengingkari janji tersebut, bukan?" Tatapannya menajam seiring untaian kalimat yang ia keluarkan.
Ia masih ingat persis, bagaimana propaganda dari pihak Jepang berhasil membuat dirinya dan juga masyarakat negaranya menaruh kepercayaan, namun berakhir dengan realita yang tak sesuai harapan.
Emosi Jepang mulai terpancing. Ketenangan yang sedari tadi ia pertahankan mulai terkikis. Ia berdehem pelan, berusaha menenangkan diri.
"Indoneshia-san, keadaan kami pun sedang rumit sekarang."
"Pasukan garis depan kami sudah semakin terdesak di perang Asia Timur Raya. Kami pun tak tahu pasti kapan bisa memberikan kemerdekaan pada kalian. Kuharap anda bisa menunggu, Indoneshia-san."
Rahang sang lawan bicara kembali mengeras. Ah, percakapan macam ini selalu memberikan suasana intens di antara keduanya.
Tapi tidak, ia tidak boleh kehilangan kendali atas dirinya.
Indonesia menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya perlahan. Beberapa kali melakukannya, kini ia merasa lebih tenang. Cara ini selalu efektif untuk meredam emosinya.
"Baiklah. Kalau sudah begitu, saya juga tidak bisa memaksa." Indonesia sadar betul bahwa percakapan ini (lagi-lagi) berujung tak memiliki penyelesaian. Tak ada gunanya juga melanjutkan. Ia menundukkan kepala. Keduanya terdiam.
Tadinya, Jepang berpikir bahwa keheningan ini akan bertahan lama. Indonesia bangkit dari duduknya, dan berjalan keluar ruangan.
"Mau ke mana?" Jepang menoleh ke arah sang pemuda. Sedikit membuatnya déjà vu, biasanya Indonesia yang sering menanyakan hal ini kepadanya.
Yang ditanya menghentikan langkah di bingkai pintu. "Warung, lupa kalau obat merah sama perban udah habis. Kak Kiku mau nitip sesuatu?"
Manik Jepang mengerjap. Jujur saja, ia cukup terkejut ketika Indonesia memanggilnya dengan nama itu. Ah, kalimat darinya sukses sekali memecahkan suasana tegang di antara mereka.
"Aku titip teh saja." Entah kenapa, kalimat itu yang terlontar dari mulut Jepang.
"Baiklah." Sekilas, Indonesia mengangguk, dan melangkah pergi meninggalkan ruangan.
Atmosfer tak mengenakkan tadi telah sirna dari ruangan, namun perasaan menyesakkan itu masih menetap dalam dada.
Jepang pun ingin memberikan sebuah kepastian, bukan hanya harapan menggantung belaka.
Namun, ia hanyalah seorang personifikasi, yang bahkan tak punya kendali atas keadaan di negaranya sendiri.
Tak ada pilihan, selain menunggu.
Komentar
Posting Komentar
Silakan kritik dan sarannya~