Tidur Itu Masa Antara Hidup dan Mati

Vocaloid (c) Crypton Future Media

Warn! Explicitly talking about death.

---

Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan.

Apakah kita akan terbangun esok pagi? Apakah kita akan terbangun di kamar, di tempat yang familiar?

Tidak ada kepastian.

“Kaito, masih belum tidur?” 

Yang dipanggil kembali membuka mata, menghentikan usahanya untuk kelihatan sudah terlelap.

“Maaf,” gumamnya pelan. “Miku jadi ikutan nggak bisa tidur, ya.” 

“Bukan salahmu.” Miku balas menatapnya. “Aku cuma sedang banyak pikiran.”

“Karena aku juga, kan?”

Hening kembali mengisi. Miku tidak kunjung membalas, membuat Kaito menghela napas.

“Maaf,” gumam Kaito lagi. Kali ini Miku tidak menyangkal, hanya memandangi dinding kamar dengan tatapan kosong.

Hening lagi.

“Parade itu masih ada sehari lagi, kan?” Kaito mengalihkan percakapan, namun ekspresinya masih kelihatan sendu. “Aku mau liat hari penutupannya bareng Miku.”

“Tapi, aku takut.” Kaito membenamkan setengah wajahnya pada boneka kelinci yang sejak tadi dalam dekapan. 

“Kalau aku tidur, apa aku bakal bangun besok? Dokter bilang, tinggal nunggu waktu, kan? Makanya aku dibolehin keluar rumah sakit.”

Sebagian besar perkataannya terdengar agak tidak jelas, seolah mencerminkan ketakutan Kaito terhadap kenyataan yang masih tidak dapat ia terima.

“Kalau aku nggak bangun, Miku bakal kesepian.” Suaranya semakin kecil terdengar. “Miku bakal datang ke parade sendiri. Padahal aku udah janji kalau kita bakal liat semuanya bareng-bareng.”

“Nanti pulangnya, Miku juga bakal kerepotan. Nggak ada aku yang bantu nyuci baju, atau jemur, atau masak. Kerjaannya Miku di rumah bakal tambah banyak.”

“Terus kalau Miku sedih, nggak ada aku yang bisa Miku peluk. Aku nggak bisa hibur Miku, ngelus kepala Miku. Mungkin bisa, tapi mungkin nggak bakal bisa Miku rasain.”

“Aku nggak siap. Aku nggak siap ninggalin Miku.” Kaito menggelengkan kepala pelan. “Miku masih kecil, masih perlu aku.”

Lagi-lagi hening. 

Mungkin Kaito terlalu banyak bicara, tapi memang itulah kenyataannya. Walaupun menyakitkan, tetap mesti dikatakan. Ia sudah tak bisa lagi memendamnya sendiri, apalagi sebagian besarnya juga sudah Miku ketahui.

“Kaito, mending kamu tidur, deh.” Akhirnya Miku angkat bicara, tatapan mereka kembali beradu. “Pikiranmu nggak jernih kalau lagi capek.”

“Tapi–”

“Aku di sini, Kai,” potong Miku. Tangannya menyentuh lembut lengan Kaito yang masih mendekap erat boneka kelinci. “Miku bakal tetep di sini sampai Kaito bangun besok.”

“Dan kita bakal nonton paradenya bareng-bareng.” Sebuah senyum terulas, sebagai usaha untuk menenangkan pikiran yang berkecamuk. “Ya?”

Walau masih kelihatan ragu, Kaito akhirnya mengangguk. Mendengarnya langsung dari Miku membuat ia merasa sedikit lebih tenang.

Setelah terdiam sejenak, Kaito bergumam kecil. “Mimpi indah, Miku.”

Miku menyaksikannya menutup mata, perlahan terlelap. Wajahnya terlihat damai sekali. Terlalu damai. Sampai-sampai ia takut Kaito tak ingin meninggalkan alam mimpi yang bisa saja lebih indah dari kehidupan saat ini.

Mungkin di sana Kaito bisa terus menonton parade bersama Miku, selamanya.

Tapi Miku yang di sini tak akan bisa menonton parade bersama Kaito.

“Semoga ada sesuatu yang menendangmu keluar dari alam mimpi besok pagi, Kai.”

Komentar

Postingan Populer