Senandika
Kala senja, bulan kedua tanggal empat belas, sang anak dara mencoba menafsirkan ulang perasaannya terhadap sang teruna.
---
(Kind of) Seli x Ily
BUMI Series © Tere Liye
Dimensi Alternatif : Non-Clan
---
Setelah setengah jam yang begitu menegangkan, akhirnya aku bisa menghembuskan napas lega. Aku paling tidak suka dengan yang namanya presentasi, apalagi jika harus dilakukan sendirian, di ruang wakil pula. Untung aku hanya perlu berhadapan dengan Pak Av, itu pun tanganku sudah gemetaran. Beda cerita kalau ada Bu Hana atau Pak Tog juga, bisa-bisa aku pingsan bahkan sebelum menyelesaikan slide pembukaan.
Sudahlah, yang lalu biarlah berlalu. Setidaknya, nilaiku sudah aman walau harus dipotong pajak akibat terlambat presentasi. Seharusnya minggu kemarin adalah pertemuan terakhir untuk presentasi, tapi aku tidak masuk. Untung Pak Av masih berbaik hati memberikan kesempatan, jadi nilaiku tidak kosong.
Dengan langkah ringan, kususuri lorong sekolah menuju pintu gerbang depan. Sayang hari ini aku harus pulang sendiri. Tadinya Raib dan Ali ingin menunggu hingga urusanku selesai—walau Ali kelihatan ogah-ogahan, sih—namun mereka kusuruh pulang duluan karena aku pasti akan lama nanti.
Lagipula, ini bisa jadi kesempatan bagi Ra dan Ali untuk—ekhem—berduaan, bukan? Coba bayangkan, ketika angkot berhenti mendadak, lalu Raib tak sengaja bersandar ke bahu Ali untuk menjaga keseimbangan. Raib dengan canggung meminta maaf, kemudian Ali menggodanya.
"Bilang saja kalau kau memang ingin bersandar, Ra." Ali tersenyum—senyum yang menyebalkan seperti biasanya.
Wajah Raib memerah. "I - itu kan tidak sengaja! Lagipula, siapa yang mau bersandar di bahumu? Bau keringat."
Ali tertawa. "Tapi kau tetap mau kan, Ra?"
"K - kan sudah kubilang! Tidak ya tidak!" Wajah Raib makin merah.
"Tidak atau iya, nih?" Ali semakin gencar menggodanya, membuat Raib memukul pundak Ali supaya ia berhenti. Ali hanya tertawa menanggapi tingkah Raib.
[Sebenarnya ini beneran kejadian ( ・∇・)]
Aduh, seperti momen di drama-drama saja! Tapi serius deh, mereka cocok sekali jika menjadi pasangan. Kuharap suatu saat nanti mereka akan benar-benar bersama.
Atau hari ini juga bisa! Dewa Cinta mungkin akan lebih berbaik hati untuk melunakkan hati mereka yang penuh ego dan harga diri itu. Karena hari ini kan Hari Valentine!
Ah, benar juga. Hari ini Hari Valentine, ya.
Langkahku terhenti begitu sampai di depan gerbang sekolah. Belum ada tanda-tanda angkot yang akan lewat. Sepertinya aku akan lama menunggu, sudah sore pula.
Kulihat ada beberapa siswa-siswi yang juga baru keluar dari area sekolah. Sepertinya mereka adalah anak-anak kelas 12. Tinggi-tinggi soalnya.
"Sel? Kamu belum pulang?"
Suara familiar yang menyapa membuatku menoleh. Ah, ternyata itu Kak Ily. Ia mendorong sepedanya mendekat ke arahku, dengan hati-hati menerobos kerumunan anak yang keluar dari gerbang.
"Hehe, tadi aku ada tugas presentasi dulu, Kak. Makanya baru bisa pulang sekarang." Aku tertawa kecil. Kentara sekali kalau ia khawatir padaku, terdengar dari nada bicaranya.
Kak Ily manggut-manggut, ber-oh pelan. "Pulang bareng, yuk? Rumah kita kan searah. Lagipula, bahaya kalau seorang gadis pulang sendirian sore-sore begini."
"Eh? Gapapa, Kak?" Jujur aku agak sungkan sebenarnya. Berat badanku sedang naik akhir-akhir ini, nanti Kak Ily jadi kesusahan mengayuhnya.
"Gapapa, kok." Senyum Kak Ily yang sangat gwi yeo wun berhasil membuat hatiku luluh seketika. Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung setuju.
Kak Ily menaiki sepeda, menapakkan kaki untuk menjaga keseimbangan. Kemudian, aku pun ikut beranjak naik.
"Pulang, Ly? Tumben ada boncengannya." Kulihat dua orang siswa berjalan mendekati kami. Mereka kelihatan sepantaran dengan Kak Ily. Mungkin teman seangkatannya?
Kak Ily mengangguki pertanyaan itu. "Iya, nih. Adik kelasku."
"Jagain itu anak orang, Ly. Nanti bukannya dianterin ke rumahnya, malah dibawa ke rumahmu." Seorang di antara mereka menunjukku. Kak Ily hanya tertawa menanggapinya.
"Ya gak bakal, lah." Kak Ily masih terkekeh, bersiap mengayuh sepeda. "Kami duluan, ya."
"Pegangan yang erat, Dek. Ily suka ngebut soalnya." Mereka kembali tertawa, melambaikan tangan. "Hati-hati kalian."
Setelah memberikan sebuah anggukan dan senyuman, sepeda Kak Ily mulai bergerak menuju jalanan beraspal. Angin sore berhembus pelan, menyapu lembut wajah kami.
"Pegangan, Sel." Kak Ily mengingatkan. Langsung ku ikuti instruksi darinya, memperbaiki pegangan yang sempat mengendur, menyandarkan kepala di tas punggungnya.
Sepertinya jalanan mulai agak menurun. Sepeda Kak Ily meluncur lebih kencang, namun masih dalam kecepatan aman. Rambutku sedikit terangkat, rasanya geli.
Keheningan menghiasi suasana damai di antara kami. Kalau dipikir-pikir lagi, ini juga seperti sebuah adegan drama. Ketika tokoh pasangan utama naik sepeda berboncengan sepulang sekolah. Biasanya akan ada momen yang mengeratkan hubungan mereka.
Kalau diantara aku dan Kak Ily, apa akan terjadi juga, ya? Walau bisa sedekat ini, terkadang aku merasa ada sebuah dinding yang membatasi interaksi kami. Entah karena perbedaan tingkatan kelas, pergaulan, atau faktor lainnya, aku pun tak tahu pasti.
Sebenarnya, selama ini aku menganggap Kak Ily sebagai apa? Ketika digoda Raib, aku selalu mengatakan kalau aku hanya menganggap Kak Ily sebagai seorang kakak, tak lebih.
Tapi, kalau dipikir-pikir, terkadang tindakanku juga mencerminkan sesuatu yang lebih dari itu, seolah menjadi seorang figur adik terasa masih belum cukup.
Kalau dari drama-drama yang kutonton, biasanya ada beberapa hal yang bisa menjadi pertimbangan untuk menentukan apakah aku memang menginginkan hubungan yang lebih mengarah ke—ekhem, pokoknya begitulah—dengan Kak Ily atau tidak.
Coba kita urutkan, dari ketertarikan secara fisik. Aku merasa bahwa Kak Ily itu tampan. Tapi, kupikir semua orang akan mengatakan hal yang sama. Dia memang dari sananya begitu. Turunan dari Paman Ilo, mungkin?
Kalau dari perasaanku terhadapnya, aku senang-senang saja sih berada di dekatnya, tidak merasa gugup ataupun canggung. Cuma, kadang kurasakan detak jantungku yang lebih cepat dari biasanya. Mungkin karena terlalu senang atau bagaimana, aku juga kurang paham. Apa itu juga dihitung?
Lalu dari interaksinya dengan orang lain, terutama perempuan. Apa aku merasa iri? Yah, kalau sedang melihat Kak Ily mengobrol dengan perempuan lain, aku sadar bahwa kebaikannya itu bukan hanya tertuju padaku, melainkan untuk orang lain juga.
Kadang, aku ingin perhatian yang lebih dari Kak Ily, atau mendapat perlakuan spesial darinya, supaya setidaknya ada sesuatu yang membedakan sikap Kak Ily antara denganku dan dengan orang lain. Itu termasuk iri tidak, ya?
Kemudian… apa lagi yang bisa menjadi indikasinya, ya? Ah, kenapa rasanya aku mudah sekali memasang-masangkan tokoh di drama, tapi sulit memahami perasaanku sendiri? Yah, mungkin karena aku juga tak ingin terlalu percaya diri. Ekspektasi tinggi yang dihempas sampai ke dasar itu sakit, sih.
Kualihkan kembali perhatian ke jalan. Dapat kulihat sebuah gapura besar di sisi kanan jalan, tempat biasanya Kak Ily menurunkanku ketika ia mengantar pulang.
Tapi tunggu, kenapa Kak Ily tidak menurunkan kecepatan?
"Eh, eh, Kak! Udah mau kelewatan itu!" Kutepuk-tepuk tas Kak Ily, mencoba menarik perhatiannya. Rem sepeda ditarik mendadak, membuatku nyaris terjungkal ke depan jika saja tubuhku tidak tertahan oleh tas punggung Kak Ily.
"Kamu gapapa, Sel?" Kak Ily memutar badannya, menatapku khawatir. "Astaga, aku beneran gak sadar kalau sudah sampai di area kompleks rumahmu. Kalau kamu tak ingatkan, bisa-bisa kamu beneran kebawa sampai apartemenku."
Aku mengelus dahi, refleks karena tadi terjedut bagian keras dari tas Kak Ily. Aku tertawa pelan, turun dari sepeda dengan hati-hati. Ternyata Kak Ily bisa ceroboh seperti ini juga, ya. "Gapapa, Kak. Yang penting Seli nyampe juga."
Kak Ily tersenyum canggung, mungkin karena merasa bersalah. Tak biasanya dia melupakan hal yang telah menjadi kebiasaan. "Maaf, Sel."
"Gapapa. Kak Ily mungkin lagi capek, makanya gak fokus." Aku menggeleng pelan, masih tersenyum. Toh, sehebat-hebatnya manusia, pasti pernah melakukan kesalahan juga. Kegiatan anak kelas 12 juga kelihatan lebih padat akhir-akhir ini, hampir tiap hari ada pendalaman materi.
Senyum Kak Ily berubah menjadi lembut. Tangannya bergerak, mengelus pucuk kepalaku. "Makasih, Sel. Kamu memang selalu ngerti keadaanku."
Aku terpaku, benar-benar tak menyangka akan mendapat reaksi seperti itu. Rasanya jantungku seperti berhenti berdetak sepersekian detik. Cepat-cepat aku membalas senyumnya. "Hehe, itulah gunanya teman, kan?"
Kok rasanya sedikit sakit ya ketika mengatakan itu?
Kak Ily terdiam. Sejurus kemudian ia tertawa, mengacak rambutku gemas. "Bisa aja kamu ini."
Aku ikut tertawa. Rambutku pasti akan kusut setelah ini. Tapi biarlah. Jarang-jarang Kak Ily bisa tertawa lepas begini.
Kak Ily menarik kembali tangannya, masih tersenyum. "Ya udah, kalau gitu aku pulang dulu, ya."
Aku sudah hendak melambaikan tangan padanya, namun tiba-tiba aku teringat pada suatu hal.
"Eh! Bentar, Kak!" Kak Ily hampir mengayuh sepedanya, jika saja tidak kupanggil. Ia menoleh, sedang aku sibuk merogoh isi tas.
Aku mengeluarkan sekotak coklat, lalu menyodorkannya ke arah Kak Ily. Ia menatapku, raut mukanya terkejut.
"I - ini buat Kakak." Karena Kak Ily masih diam, kuputuskan untuk angkat bicara, walau rasa deg-degan makin tak karuan jadinya. Kak Ily sedikit tersentak, seolah baru tersadar dari lamunan sejenak. Kemudian, senyumnya kembali mengembang.
"Astaga, Sel. Kamu gak perlu repot-repot, padahal." Ia menerima coklatku dengan senang hati, menatapnya sejenak sebelum mengalihkan pandangan kembali padaku. "Terima kasih."
Aku mengangguk, masih tersenyum. Jantungku terasa semakin berdetak cepat. Jujur aku takut Kak Ily tidak suka coklatnya, karena aku tidak tahu jenis coklat apa yang Kak Ily suka. Setahuku tidak semua orang suka dark choco, atau Kak Ily punya intoleransi laktosa? Aduh, semoga ia baik-baik saja setelah makan coklat dariku.
"B - btw, itu cuma cokelat pertemanan aja kok, Kak. Bukan apa-apa, beneran." Dengan cepat aku langsung menjelaskan, daripada Kak Ily terlanjur salah paham. Coklat yang kubeli itu edisi valentine, jadi pasti ada gambar atau tulisan yang mengarah ke—ekhem, begitu deh pokoknya. Semoga Kak Ily tidak menganggapnya serius.
Kak Ily terkekeh, mungkin karena melihatku yang bertingkah agak gugup. "Iya Sel, iya. Aku paham, kok."
Tas punggungnya ia pindahkan ke depan. Aku sedikit takjub sebenarnya, Kak Ily tidak kehilangan keseimbangan ketika melakukan itu. Ia membuka resleting tas, dan isinya membuatku tercengang.
"Kak, itu banyak banget coklatnya…." Mulutku nyaris menganga. Isi tasnya penuh dengan berbagai macam coklat. Pantas saja dahiku sakit ketika berbenturan dengan tas Kak Ily.
Kak Ily tertawa. "Yah, tadi banyak dikasih sama temen seangkatan. Aku juga gak paham kenapa pada ngasih ke aku."
Fakta itu membuatku kembali tersadar. Jika perasaan ini memang mengarah ke sana, maka pasti aku harus menghadapi banyak wanita yang juga ingin mendampingi Kak Ily, kan? Dan belum tentu juga aku yang akan dipilih olehnya.
Kelihatannya Kak Ily sedikit memaksakan coklat dariku untuk masuk ke dalam tasnya. Aku mengawasi dengan perasaan cemas. Bagaimana jika tasnya tiba-tiba jebol? Pasti akan repot nantinya. Ah, tapi akhirnya bisa masuk. Syukurlah.
"Sekali lagi makasih ya, Sel." Kak Ily kembali menyandang tasnya di bahu, memperbaiki posisi supaya tidak mengganggunya dalam mengayuh sepeda nanti. "Ini berarti banget untukku, beneran."
"Iya, Kak. Sama-sama." Aku juga balas tersenyum, namun rasanya sulit untuk membentuk senyum yang benar-benar menunjukkan kebahagiaan. Seolah ada sesuatu yang mengganjal.
"Tapi, berarti aku yang terakhir ngasih coklat ke Kak Ily, ya?" Aku tersenyum kecut. "Jadi tidak spesial, dong."
Kak Ily menggeleng, menatapku lembut. "Menjadi yang paling akhir tidak selalu berarti buruk, Sel. Justru urutan awal dan akhir lah yang paling sering kita ingat. Kalau dalam istilah psikologi, kamu baru saja memberikan efek resensi padaku."
Aku tertawa kecil. Kak Ily bisa saja menyelipkan materi pelajaran ke dalam nasihatnya.
"Lagipula, biasanya yang setia itu datang di akhir, dari arah yang tak disangka-sangka. Bukankah itu justru–"
Kak Ily tiba-tiba tertegun, seolah baru menyadari sesuatu. "L - lupain apa yang aku katakan tadi, Sel." Kalimat itu diiringi dengan tawa canggung dari Kak Ily. Kenapa dia tiba-tiba seperti itu? Memang apa kelanjutan dari kalimatnya tadi?
"Pokoknya, terima kasih buat coklatnya, Sel. Bakal langsung kucoba nanti." Kak Ily ambil ancang-ancang, bersiap mengayuh sepeda. "Sampaikan salamku untuk Mama dan Papamu. Sampai jumpa besok di sekolah."
"Hati-hati, Kak!" Kulambaikan tangan begitu sepeda Kak Ily kembali meluncur pelan di jalan. Ia sempat menoleh dan tersenyum kepadaku, sebelum kemudian kembali fokus ke depan.
Hah~ Setidaknya aku sudah memberikan coklatnya. Lega rasanya, seolah beban di punggungku hilang entah ke mana.
Tapi, tadi Kak Ily bilang sesuatu tentang "yang setia", kan? Dan biasanya yang setia itu datang di akhir, dari arah yang tak disangka-sangka….
Eh, maksudnya–
M - masa, sih?!
Wajahku langsung terasa panas, sepertinya pun juga kelihatan merah seperti wajah Ra ketika aku menggodanya. Tadi Kak Ily benar-benar bilang begitu? Dia hanya asal bicara atau memang yang tadi itu mengarah padaku?
Kedua tangan menutup wajahku yang sudah sepenuhnya memerah. Malu, rasanya malu banget sumpah. Yang tadi itu beneran, kan? Bukan khayalanku? Kalau itu memang kode, atau hanya tak sengaja terucap, tetap saja arahnya jelas sekali.
Boleh tidak, untuk kali ini saja, aku menaruh harapan pada perasaan ini?
Komentar
Posting Komentar
Silakan kritik dan sarannya~