Case 13

Pernah diikutsertakan dalam sebuah kompetisi, namun tak masuk nominasi.

Mengingatnya saja masih terasa sedih.

---

“Bisa kamu jelaskan kejadiannya secara kronologis?”

Syifa—nama gadis di hadapanku saat ini—menelan saliva susah payah. Ia terlihat agak enggan untuk menceritakan mengenai apa yang kuminta. Yah, aku paham kalau ia cukup trauma dengan insiden itu. Siapa juga yang tidak ketakutan ketika nyawa berada di ujung tanduk? Kebanyakan manusia takut untuk mati, kan?

“Eh, tidak perlu memaksakan diri, Syifa.” Aku berusaha menenangkan dirinya. Kasihan juga melihatnya terduduk di atas bangsal dengan perban yang menutupi beberapa bagian di tubuhnya. 

“Ceritakan saja ketika kondisimu sudah lebih baik, oke?”

Gadis surai hitam itu menggeleng pelan. “A - aku akan cerita. Ka - karena, aku sendiri juga p - penasaran,” ujarnya dengan suara bergetar.

“M - memang sudah kebiasaanku untuk naik ke rooftop asrama ketika malam hari. Aku sering tidak bisa tidur karena in - insomnia.” Aku mengangguk-angguk mendengar penjelasannya.

“T - tapi, malam itu, Chloe juga ada di rooftop. B - bahkan lebih dulu dariku.” Syifa mencengkram erat selimut yang terbentang di pangkuannya. Air mukanya berubah menjadi ketakutan. “A- aku yakin kalau itu dia. Rambutnya pirang dan m - matanya biru.”

“Ia m - mulai membicarakan hal a - aneh. Soal m - mengambil alih, menyamar, d - dan…” Syifa mengantungkan kalimat, merasa tak mampu untuk melanjutkannya.

“...m - membunuh.” Tubuhku menegang begitu Syifa mengucapkan kata itu. Jika ini menyangkut pada perenggutan nyawa seorang manusia, kasus ini berstatus bahaya dan bukan main-main.

“A - aku merasa bahwa ada yang tidak beres dengan Chloe. S - saat aku ingin turun, pergelangan tanganku ditahan o - olehnya.” Wajah Syifa benar-benar pucat sekarang. 

“I - ia membantingku ke lantai. La - lalu, Chloe berkata b - bahwa aku pantas dilenyapkan, u – untuk kelancaran misi.” Setetes liquid asin lolos dari pelupuk mata gadis itu.

“T - tatapannya penuh hasrat d - dan nafsu. S - saat itu, aku mulai ragu. A - apakah ia benar Chloe atau *hiks* bukan.” 

Tangis Syifa pecah. Ia menangis sambil memeluk selimutnya. Aku menatap gadis itu iba. Ia pasti sangat ketakutan ketika itu. Namun, Syifa tetap berusaha untuk menceritakan kejadiannya padaku—demi kelancaran pengerjaan kasus ini. Ia hebat. Aku salut padanya.

“Keluarkan saja tangismu. Jangan ditahan.” Aku mengelus punggungnya─bermaksud untuk menghibur. “Untuk setelahnya, aku akan menyelidiki kejadian ini sendiri. Terima kasih karena sudah menceritakannya, Syifa.”

Syifa menggeleng pelan. “Tidak, *hiks* seharusnya aku yang berterimakasih.” Ia menatapku dengan manik coklat tuanya. “Tolong pecahkan kasus ini, Anya. For Chloe’s sake.” 

Aku mengangguk. “Baik, aku akan berusaha semaksimal mungkin.”

***

Namaku Anya, seorang detektif swasta amatir. Bukan tanpa alasan aku menyebut diriku amatir. Sejauh ini, aku baru memecahkan 12 kasus dari klien yang berbeda. Dan, ini adalah kasus ke-13 yang kukerjakan.

Kasus ini… sebenarnya aku punya sebuah firasat buruk soal kasus ini. Beberapa orang Indonesia percaya bahwa angka 13 termasuk ke dalam angka yang mendatangkan kesialan. Tentu saja aku tidak percaya. Mana ada angka yang membuat kita sial. Tapi, baru pertama kali aku mendapat firasat buruk begitu menyadari angka dari kasus ini.

Ah, sudahlah, tidak perlu dipikirkan. Aku hanya bisa berharap, semoga firasat buruk itu tidak terjadi padaku. Mari kita bicarakan hal yang lebih penting, yaitu detail dari kasus ini.

Chloe—gadis yang diceritakan oleh Syifa tadi—adalah klien yang memintaku untuk memecahkan kasusnya. Ia menceritakan bahwa dirinya dituduh telah menyakiti sahabatnya, yaitu Syifa. Tadinya, aku merasa bahwa ini hanyalah salah paham atau masalah adu domba belaka. Namun, ini lebih dari masalah menyakiti sahabat sendiri.

Ini adalah percobaan pembunuhan.
Bagaimana tidak? Syifa mendapat luka di beberapa bagian, dan ia ditemukan hampir tewas di tempat kejadian. Juga, menurut kesaksian Syifa, pelakunya memiliki ciri-ciri yang sama persis seperti Chloe. 

Tadinya, aku berpikir bahwa permintaan Chloe untuk menangani kasus ini hanyalah pengalihan perhatian semata, supaya orang lain tidak berpikir bahwa dia lah pelaku yang sebenarnya. Namun, aku masih belum memahami alasan Chloe melakukan hal itu pada Syifa. Menurut cerita dari gadis pirang itu, ia dan Syifa telah berteman sejak masuk asrama, dan tidak ada kejadian yang janggal selama rentang waktu itu.

Apakah ada orang yang menyamar sebagai Chloe? Misalnya, dengan tujuan untuk merusak persahabatan antara Chloe dan Syifa?
Tapi, apa motif dia untuk melakukan hal itu?

***

Aku menghampiri pagar pembatas yang terbuat dari besi itu. Aku bisa melihat pemandangan kota dari sini. Memang tepat kalau rooftop ini dijadikan sebagai spot favorit untuk berkumpul dengan teman.

Yah, tapi berbahaya juga, sih. Jadi, harus berhati-hati.

Pandanganku teralih pada bercak darah yang telah mengering di dekat tanganku. Aku mengamatinya lekat-lekat, memastikan bahwa itu benar-benar darah. 

“Baunya anyir. Sudah tentu ini darah,” gumamku—seolah sedang berbicara dengan orang lain. Haha, kalau ada yang melihatku begini, pasti aku sudah dicap sebagai orang gila karena bicara sendiri.

Walau berpikir konyol begitu, tetap saja terbesit rasa takut dan khawatir dalam hatiku. Kalau sampai ada yang terluka seperti ini, kasus ini jadi cukup serius, kan? Seharusnya Chloe meminta bantuan pada polisi saja, bukannya aku.

Yah, aku sudah menyarankan hal itu padanya, sih. Tapi, gadis manik biru itu menolak. Katanya, ada yang mengancam dia melalui pesan di ponsel untuk tidak meminta bantuan kepada polisi.

Aku berhenti menginvestigasi sekitar. Tunggu sebentar. Kalau ada yang mengancam Chloe, berarti ada rekan si pelaku yang berhubungan dengan gadis itu. Atau, pelakunya langsung yang mengancam Chloe!

Begitu mendapat pemikiran itu, aku langsung menjentikkan jari puas.

Tapi, tetap saja. Aku menghela napas sambil tertunduk lesu. Identitas si pelaku itu masih menjadi misteri. Apalagi, tampilan fisiknya sama persis seperti Chloe. Apakah ia memiliki kembaran? Sepertinya ia tidak pernah menceritakan soal itu padaku. Besok aku akan datang ke rumahnya dan menanyakan soal ini padanya.

Tiba-tiba, ponsel di saku celanaku bergetar—menandakan bahwa ada pesan masuk yang kuterima. Aku mengambil benda tipis itu, dan membaca pesan yang tertera. Entah kenapa, perasaanku jadi tidak enak.

Anya, tolong ke rumahku.

Ada sesuatu yang ingin kuberitahu.
Sekarang.

***

‘Wah, rumahnya besar.’ Begitulah pemikiranku ketika pertama kali berkunjung ke rumahnya waktu itu. Namun, tak ada waktu untuk mengagumi rumahnya yang memang besar dan luas ini. Aku harus segera menemui Chloe untuk memenuhi panggilannya.

Segera aku melangkah menuju pintu depan rumah—pagarnya tidak dikunci, entah kenapa. Saat aku hendak menekan bel, aku menyadari bahwa pintu kayu itu juga tidak dikunci.

‘Ini mencurigakan.’ Aku menelan ludah. 

Perlahan, kudorong pintu dan mengintip sedikit ke dalam. Bau anyir darah yang khas sekaligus menyengat langsung memenuhi indra penciumanku. Lampu di ruang tamu tidak menyala, membuatku harus beradaptasi dengan kondisi yang minim cahaya ini. 

Begitu sudah bisa melihat dengan jelas, mataku menangkap sebuah pemandangan yang tidak seharusnya dilihat oleh gadis seumuranku
Air mukaku berubah menjadi pucat. Rasa mual bergejolak dalam perutku. Kakiku bergetar hebat, tak kuat menopang berat tubuh karena terlalu lemas. Tanpa aba-aba, air mata langsung menggenang di pelupuk mataku.

Di samping sofa ruang tamu, Chloe bersandar dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Tubuhnya dibanjiri oleh darah. Perutnya berlubang dan masih mengeluarkan darah segar. Lehernya tergores cukup dalam, dan ujung bibirnya robek. Wajah Chloe pucat, seperti tak ada tanda-tanda kehidupan lagi.

A – apa yang terjadi? Ke – kenapa… kenapa jadi seperti ini?

“Ternyata jebakan ini berhasil untukmu, ya?” Sebuah suara tiba-tiba terdengar tepat di belakangku. Aku bergeming, tak beranjak dari posisi. Walau kupaksakan kakiku unuk melangkah, aku tetap tidak bisa berpindah tempat.

Tanganku bergetar. Keringat membanjiri pelipis. Jantungku berdetak begitu kencang akibat pacuan adrenalin. Rasa ketakutan menyeruak dalam dada. Entah kenapa, rasanya aku sedang mempertaruhkan nyawaku di sini.

Dengan segala keberanian sekaligus rasa penasaran, kupaksakan mataku untuk melirik ke belakang. Terlihat siluet seorang gadis dengan rambut pirang dan mata biru—persis seperti Chloe. Ia menyeringai seram padaku, seolah puas dengan hasil tangkapannya.

“Kau pasti bingung dengan keadaan ini, Nona Detektif,” ujarnya padaku. “Biar kujelaskan beberapa hal supaya kau mengerti.”

“Aku duplikat Chloe.” Ia menyeringai lebih lebar, membuat suasana terasa lebih menyeramkan. “Dan aku akan menggantikan posisinya di dunia ini.”

Setelah mengatakan hal itu, ia menancapkan pisaunya—tepat di dadaku. Aku memuntahkan darah akibat luka dalam, dan langsung tumbang tak berdaya. Begitu selesai, ia pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun—meninggalkanku yang terbaring sekarat.

Ah, jadi ini kesialan yang menimpaku akibat angka tiga belas?

---

Astaga, dulu aku sadis juga, ya?

Komentar

Postingan Populer