Tsukasa Being Tsundere, Again
Project Sekai (c) SEGA, Craft Egg, Colorful Palette
Tsukasa is implicitly in love but doesn't know he's actually being explicit.
Nene thinks he's weird.
Rui knows everything.
---
Bukannya Tsukasa menyukai Nene. Ia cuma khawatir kalau membiarkan gadis itu berkeliling pusat perbelanjaan sendirian. Apalagi mereka sempat bertegur sapa sekilas ketika berpapasan tadi. Tsukasa ‘kan jadi merasa bertanggung jawab atas keselamatannya.
“Tsukasa, mau sampe kapan kau ngikutin terus?”
“A-aku nggak ngikutin! Jalan kita aja yang searah, kok!”
“Emang mau kemana, deh?”
“Kemanapun tujuan Nene pergi.”
***
Nene jadi merasa deja vu. Dulu, ketika mereka masih kecil, Rui lah yang sering mengikutinya kemana-mana. Ketika ditanya alasannya, dia cuma tersenyum simpul, membuat Nene merasa kalau anak itu hanya ingin mengerjainya saja.
Lepas dari Rui, sekarang malah Tsukasa yang masih keukeuh mengikutinya sampai ke area pakaian. Lagi-lagi dia berkilah ketika ditanya. “Saki nitip dibelikan pita.” Padahal lebih mudah mencarinya di area aksesoris.
Akhirnya Nene menyerah dan pura-pura mengindahkan Tsukasa yang tengah melihat-lihat rak berisi ikat pinggang sambil mencuri pandang sesekali ke arahnya.
“Maaf, Mbak. Mbak kenal Mas yang disitu?” Seorang saleswoman menghampirinya dengan tatapan khawatir. “Dari tadi dia merhatiin Mbak terus.”
“Abaikan saja, dia cuma lagi caper.”
***
Setelah membeli sebuah topi dan beberapa stel baju musim panas, Nene berjalan keluar dari area pakaian itu. Langkah kakinya mengarah pada stand es krim yang tadi sempat dilewatinya. Memang paling enak makan yang dingin-dingin saat panas begini. Menyejukkan jiwa dan raga.
Ketika hampir sampai, saat itulah Nene menyadari bahwa Tsukasa tak lagi berada di belakangnya. Sontak ia menoleh ke sekeliling. Masih tak ada tanda-tanda keberadaan temannya itu.
Nene justru mendapati area pusat informasi di pojok kiri lorong. Itu memberikannya sebuah ide.
“Diberitahukan kepada pemuda bernama Tsukasa Tenma, ditunggu oleh temannya di pusat informasi.”
Tidak sampai satu menit, Tsukasa tiba di sumber suara dengan wajah merah padam.
“Kan pakai telpon bisa!”
“Lebih cepat begini.” Nene mengangkat bahu.
***
Mereka berdua berjalan pelan melewati rumah-rumah di kompleks itu, masing-masing memegang es krim dan tas belanja.
“Ini rumahku.” Nene menghabiskan es krimnya. “Sampai sini aja. Kau pulanglah, Tsukasa.”
Sebenarnya Tsukasa enggan mengiyakan, jadi ia berusaha cari-cari alasan supaya bisa tinggal lebih lama.
“Keliatannya sepi. Orang tuamu nggak di rumah?”
“Mereka lagi pergi. Nanti malam juga balik.”
“Mau kutemenin?”
“Nggak usah.”
“Tapi nanti kamu kesepian.”
“Selama baterai ponselku nggak habis, aku nggak bakal kesepian.” Nene berujar datar. “Pulanglah.”
Mendengar itu justru membuat Tsukasa menatapnya prihatin.
“Nene, akui aja kalau kamu kesepian. Nggak usah pura-pura kuat begitu.”
“Apaan, sih?” Nene jadi ingin melempar cone es krim padanya.
“Ingatlah bahwa aku selalu ada di sisimu, Nene,” ujar Tsukasa dengan serius, tangannya memegang es krim bak sedang memegang mikrofon.
“Maka dari itu–”
“Loh? Nene udah pulang ternyata.” Tiba-tiba Rui menyembulkan kepala dari balik pagar rumahnya, hampir membuat mereka berdua jantungan.
“Eh~ Ada Tsukasa-kun juga.” Senyuman jahil seketika terulas di wajahnya. “Kalian belanja bareng? Ih, so sweet–”
“Aku permisi dulu!”
Tanpa ba-bi-bu lagi, Tsukasa langsung melesat pergi dari sana. Ia sudah tidak peduli lagi dengan reaksi kedua temannya itu. Ia terlalu malu untuk peduli.
Semoga Rui tidak akan komentar apa-apa saat besok di sekolah.
Komentar
Posting Komentar
Silakan kritik dan sarannya~