"Matahari Terbenamnya Indah, Ya."

A3! (c) LIBER Entertainment

//puk puk Homare

---

“Sinar temaram senja, memancar dari kaki langit, menerpa wajah berseri, berjalan pulang membawa es krim, berkejaran dengan malam.”

Lagi-lagi inspirasi datang pada waktu tak disangka, dan Homare tak bisa menahan keinginan untuk langsung menyuarakan puisi ciptaannya yang kesekian. Sampai menyebut-nyebut es krim segala. Gadis di sebelahnya menolehkan kepala, merasa terpanggil walau tanpa disebutkan nama.

“Apa aku kelihatan sesenang itu?” Sang gadis jadi agak tersipu ketika bertanya.

“Sejak dari pusat perbelanjaan, senyummu masih juga tak lekang, Nona. Merekah bagai musim semi yang penuh dengan bunga.” Homare semringah, tak lupa mengiringinya dengan kedipan mata, khas ketika ia mencoba mengambil hati sang puan.

Ah, tidak, tidak. Homare sedang berusaha ikhlas. Jangan kembali dibuat runyam, apalagi dalam keadaan sekarang.

Sebagai balasan, gadis itu hanya tertawa pelan. “Homare-san masih saja suka menggodaku.”

Menggoda. Begitukah kesan yang selama ini dia dapat? Hanya sebagai sikap iseng belaka, tanpa maksud apa-apa?

Homare sudah sangat paham betapa polos gadis yang dihadapinya.

“Terima kasih atas pujiannya, tapi tidak akan ada jatah es krim tambahan, loh,” tambah sang puan, balas tersenyum lebar, seolah sedang balik menjahilinya. “Maaf, ya.”

Tawa kembali mengudara, kini asalnya dari sang pemuda. Diam-diam, ia bersyukur karena perkataannya tadi tidak dianggap serius seperti biasa. Memang seharusnya tidak diutarakan, namun apa daya, sudah terucap.

“Tentu saja, apapun yang dikatakan Nona.” Homare mengangguk khidmat.

Selalu menyenangkan menghabiskan waktu berdua, walau hanya sekedar pergi belanja mingguan. Homare tidak bisa menyangkal, gadis di sampingnya ini sudah bagaikan seisi dunia. Ia telah jatuh begitu dalam, dan ketika akhirnya tersadarkan, semua sudah terlambat.

“Nona,” panggilnya, menjeda langkah. “Matahari terbenamnya indah, ya.” 

Setelah melalui belokan, pemandangan kala petang terpampang jelas dari tempat mereka. Sang gadis menghentikan jalannya, turut memandang langit dengan ekspresi yang tak bisa Homare ungkapkan dengan kata-kata.

Dia menatap pijar surya lekat-lekat, dengan mata yang sarat akan emosi berbagai macam, bercampur aduk menjadi satu kesatuan. Seakan pikirannya telah melanglang buana, jauh dari sekedar menikmati panorama yang disuguhkan.

Apakah pesan tadi tersampaikan? Homare sendiri tak yakin nampaknya.

Tapi pernyataan samar itu telah cukup untuk membuat dadanya terasa lebih lapang.

“Tak usah banyak dipikirkan, Nona.” Belum sempat ditahan, tangannya lebih dulu menepuk pucuk kepala sang gadis pelan. 

“Tidak ada yang mengetahui perkara masa depan, hanya bisa kita jalani dan nikmati setiap detik yang ada.”

Lagipula, Homare yakin semua akan baik-baik saja. Apalagi jika itu menyangkut dia, Itaru, dan perasaan yang menghubungkan mereka berdua.

Sebuah senyuman tipis perlahan terukir. Walau hanya dengan gestur sederhana, ternyata cukup untuk membuat sirna gundah gulana yang menghiasi wajah kawan seperjalanannya itu.

“Anda benar, Homare-san.” Binar mata yang dulu amat dikaguminya telah kembali. Meraih tangan sang pemuda dari kepalanya, mereka pun kembali melintasi jalan menuju asrama.

Mana bisa Homare tidak ikut tersenyum menyaksikannya. Kalau sudah begini, sudah tentu ia akan mengusahakan apapun demi mempertahankan raut bahagia itu.

Akan ia pastikan untuk mendeklarasikan banyak puisi di hari pernikahan mereka, kali ini tanpa beban apa-apa. 


Komentar

Postingan Populer