Catur [0]

Alternate Universe: Arthur & Alice Kirkland (Hetalia) x Moriarty the Patriot

Inspired by "Villain" (Stella Jang)

-----

“Alice, temani aku main catur.”

Panggilan itu membuat sang gadis menoleh ke arah seorang pemuda yang duduk di atas sofa, telah siap dengan papan dan bidak caturnya di atas meja. “Kakak kan baru sampai rumah, nggak tidur dulu setidaknya?”

“Kepalaku lagi jenuh. Kalau tidur sekarang, saat bangun nanti pikiranku pasti kosong.” Arthur meraih bidak raja warna putih, memperhatikannya dari dekat. “Bisa saja kejadian itu terulang lagi.”

Alice terdiam, kenangan itu berputar kembali di kepalanya.

Tengah malam kala itu, ketika sang kakak mengotori kedua tangannya untuk yang pertama kali.

Rasa amarah mengambil alih, dan sebilah kayu yang didapat dari bawah tempat tidur berakhir di leher wanita yang telah membuat hidup mereka menderita selama ini, meskipun statusnya sebagai ibu mereka.

Itu kali pertama pula Alice melihat darah, diiringi dengan sebuah kelegaan dan kepuasan.

Dan perasaan itu akan terus melekat setiap kali ia berurusan dengan darah dari orang yang ia benci.

Alice menghela napas, berusaha mengenyahkan gambaran memori di pikirannya. 

“Baiklah.”

Ia putuskan untuk meninggalkan kertas beserta penanya di meja makan, lantas menghampiri sang kakak. 

Arthur menaikkan salah satu alisnya, begitu sang adik mengambil tempat persis di sebelahnya.

“Kenapa duduk di sini?” 

“Kakak tadi cuma minta nemenin, kan?” 

Alice tersenyum jenaka, puas melihat wajah Arthur yang nampak tersadar akan ucapannya, dan mengerutkan dahi. 

"Kamu tahu kan kalau main catur harus berdua?" 

Nada bicara Arthur terdengar seperti menahan kesal, namun juga datar di saat yang bersamaan.

Alice tertawa, cepat-cepat pindah ke sofa seberang meja. 

"Iya, iya. Aku cuma bercanda, Kak."

Arthur mengembalikan bidak raja putih ke tempatnya. Alice telah duduk manis, menatap bidak-bidak catur yang telah tersusun rapi. 

"Siapa yang bidak putih?"

"Kakak saja."

Mendengar itu, lantas Arthur mengangkat salah satu pion putihnya, siap memulai permainan. 

"Kenapa kamu tak pernah mau pegang bagian yang putih?"

'Karena aku tak berhak, Kak.'

Andai Alice bisa bilang begitu. 

Namun, ia hanya tersenyum sambil memperhatikan tangan sang kakak yang menggerakkan pion maju dua langkah ke depan.

"Soalnya aku bingung kalau jadi yang pertama main, Kak." 

Alice terkekeh, memikirkan strategi apa yang akan ia terapkan untuk permainan kali ini.

"Maju sembarangan 'kan bisa. Setidaknya cobalah barang sekali." 

Tatapan Arthur masih melekat pada papan catur. 

"Seumur-umur aku bermain denganmu, selalu aku yang pegang warna putih, jalan pertama."

Sebagai jawaban, kekehan pelan kembali keluar dari mulut Alice. 

"Kakak yang lebih berhak melakukannya."

"Huh?"

Kuda hitam di sayap kanan digerakkan oleh Alice, keluar dari barisan barikade pion hitam lainnya.

"Kakak 'kan anggota Scotland Yard. Kalau tidak bertindak lebih dulu, penjahat yang ditargetkan pasti akan lebih dulu melarikan diri, atau membuat strategi untuk melawan balik. Kalian para polisi pasti tak ingin hal itu terjadi, bukan?"

Arthur mengerutkan dahi, terdiam. Hening mengisi sejenak.

"Jangan bicara begitu." 

Arthur ikut menggerakkan kuda putih sayap kanan, sorot matanya berubah tajam. 

"Kedengarannya jadi seperti aku, yang seorang polisi, berusaha menangkapmu yang berperan sebagai penjahatnya."

Kali ini bukan kekehan, Alice benar-benar tak bisa menahan tawanya ketika mendengar kalimat dari sang kakak.

"Ini 'kan cuma permainan."

"Kau yang membuatnya serius, Alice."

Tawanya masih membekas untuk beberapa saat. Alice berusaha menarik napas. Astaga, sungguh ironis ketika ia menepis fakta itu. Padahal, yang dikatakan Arthur memang benar.

Alice betul-betul serius dengan ucapannya tadi.

"Kalau aku jadi penjahat pun, pasti tak butuh waktu lama untuk diketahui Scotland Yard. Kakak bisa dengan mudah mendapatkan bukti, lalu—"

Belum selesai bicara, kepala Alice kena hantaman cukup keras dari tumpukan kertas yang dipukulkan Arthur.

"Jangan bicara begitu, bodoh."

Alice meringis, refleks mengelus kepala walau tidak terasa sakit sama sekali. Ia menatap Arthur yang kini mengerutkan dahi, antara kesal dan khawatir bercampur jadi satu.

"Kenapa? Apa karena Kakak tidak akan bisa membelaku di hadapan Scotland Yard?"

Arthur hanya diam, namun Alice menyadari bahwa kepalan tangan kakaknya mengerat.

Sembari menggerakkan pion paling kiri sebanyak dua petak ke depan, Alice mengulas senyum. 

Tanpa penjelasan verbal pun, ia sudah tahu jawabannya.

Hubungan keluarga sekalipun tidak akan bisa menyelamatkan seseorang dari jeratan hukum.

Itulah salah satu prinsip yang seharusnya dipegang oleh seorang penegak hukum.

Permainan catur mereka terus berlanjut, walau hanya diisi oleh keheningan.

Hingga Arthur berhasil menyingkirkan raja hitam milik Alice.

"Gerakan tadi…, kau sengaja?"

Alice terkekeh.

"Menurut Kakak?"

Arthur kembali diam, memilih untuk menyingkirkan pion-pion, mulai merapikan kotak permainan. Sedangkan Alice bangkit menuju dapur, hendak merapikan kertas dan pena yang barusan ia pakai.

Sisa malam mereka habiskan dalam keheningan. Arthur yang pertama kali masuk ke kamarnya, langsung merebahkan diri ke atas kasur, seketika tertidur lelap.

Bahkan ia belum membuka seragamnya.

Alice mengintip dari balik pintu, tertawa kecil melihat betapa lelahnya sang kakak. Namun, matanya seolah mengawasi gerak-gerik Arthur, memastikan bahwa dia telah benar-benar terlelap.

Yakin bahwa situasi telah sesuai skenario, Alice menutup perlahan pintu kamar, dan menguncinya tanpa suara.

"Selamat malam, Kak."

-----

Komentar

Postingan Populer