Kenangan

Hetalia © Himaruya Hidekaz

----

Antonio masih ingat kejadian itu. Seolah baru kemarin ia mengalaminya.

Saat itu, ia masih berusia 15 tahun. Seperti biasa, Antonio menyiapkan sarapan untuk dirinya dan adiknya. Ia mengeluarkan 3 piring dari laci penyimpanan. Begitu hendak membuka kulkas, gerakan tangannya terhenti.

'Oh iya, hanya ada aku dan Lovi sekarang.' Kenyataan itu membuat dada Antonio terasa sakit. Ia menggelengkan kepala. Tangannya bergerak menyimpan salah satu piring, sambil berusaha mengenyahkan perasaan tak nyaman itu.

Selesai dengan urusan makanan, Antonio beranjak menaiki tangga menuju lantai dua, berniat untuk mengajak Lovino sarapan.

Namun, pemandangan yang ia lihat selanjutnya sukses membuat Antonio terpaku di tempat.

Sang adik yang saat itu masih berusia 10 tahun mengetuk pelan pintu kamar di hadapannya. Dengan polos—dan kasar seperti biasa, ia berujar pada penghuni kamar di dalam. "Oi fratello, ayo kita sarapan. Si tomat bodoh memasak pasta kesukaanmu, tuh."

Tenggorokan Antonio tercekat. Ingin rasanya ia memeluk Lovino erat, menangis di bahunya, dan meracau tentang Feliciano, adik bungsu kesayangan mereka yang telah tiada, yang tidak akan pernah kembali lagi.

Tapi tidak, ia tidak bisa melakukannya. Antonio harus kuat, demi adiknya juga.

"Aku akan memakannya jika kau tidak menjawabku. Bangun hei, adik bodoh!"

Seberapa lemas pun lututnya saat ini, Antonio tetap berusaha untuk melangkah mendekati sang adik. Perlahan ia mengulas senyum, walau Antonio tahu bahwa senyumnya pasti buruk saat ini.

"Lovi, ayo kita sara—" 

"Nanti dulu, tomat bodoh. Tidak sampai adik bodoh ini keluar dari kamarnya."

Matanya kembali basah. Mati-matian menahan lonjakan emosi yang semakin menyiksa. Ia tak boleh menumpahkannya, tidak di depan adiknya.

"Dia... tidak akan sarapan dengan kita hari ini." Suaranya terdengar parau ketika ia berujar.

"Kenapa?"

Jujur saja, ia masih belum siap untuk menjawab pertanyaan itu. Maka—berusaha untuk tidak terlihat mencurigakan—dengan hati-hati Antonio mengalihkan pembicaraan.

"A - akan kujelaskan nanti. Sekarang, kita sarapan dulu, ya."

Walau begitu, Lovino tetap enggan untuk beranjak dari sana.

"Bagaimana dengan fratello? Si bodoh itu pasti akan merasa lapar juga, kan?"

Untuk kedua kali, Antonio kembali memaksakan senyum untuk meyakinkan sang adik.

"Aku yang akan membawakan Feli makanan nanti. Lovi sarapan saja duluan, tidak perlu khawatir."

Memang wajah ragunya masih kelihatan kentara, namun akhirnya Lovino putuskan untuk mengikuti perkataan sang kakak.

"Dasar aneh." Terdengar samar-samar umpatannya yang digumamkan sembari ia menuruni anak tangga.

Antonio terkekeh melihat sikap adiknya yang seperti itu. Tanpa sadar, deraian air mata kembali jatuh. Ia sedikit terisak, dengan kasar mengusap mata dengan lengan baju supaya tangisannya berhenti.

Dia tak bisa seperti ini. Hari harus terus berjalan, dan dia masih memiliki tanggung jawab sebagai seorang kakak.

Saat itu, dia berharap Lovino tak meninggalkannya juga.

Namun, seharusnya Antonio tahu bahwa saudara kembar memang ditakdirkan untuk selalu bersama.

"Pada akhirnya pun semua punya jalannya masing-masing." Antonio menghembuskan napas. Asap berwarna keabu-abuan keluar dari mulutnya, membentuk bayangan abstrak di udara.

Tak terasa, sudah 7 tahun terlewati.

Kini, Antonio berusia 22 tahun.

Dan harusnya, sekarang Feliciano dan Lovino genap 17 tahun.

Sayangnya, Feliciano akan tetap berumur 10 tahun.

Sedangkan, umur Lovino tak akan pernah bertambah dari 16 tahun.

Keduanya sudah kembali bersama sejak 7 bulan lalu, di alam sana.

Meninggalkan Antonio sendirian.

"Aku berharap bisa menyusul kalian." Ia tertawa getir. "Tapi aku tahu kalau kalian tak akan membiarkanku melakukannya."

"Ya sudahlah, mau bagaimana lagi." Antonio mengangkat bahu—kebiaaaan yang ia lakukan ketika kalah berdebat dengan adiknya. Ditaruhnya puntung rokok ke dalam asbak, sedikit batuk-batuk setelahnya.

"Lagipula, masih ada yang perlu kulakukan di sini." Kembali ia tertawa, namun kini terdengar lebih ceria dari yang sebelumnya. Walau kini Antonio sendirian, ia harus tetap berjuang.

Akan menyenangkan jika ia bisa menceritakan pengalamannya pada mereka, bukan? 

Mungkin Feliciano akan bertepuk tangan kagum.

Lalu Lovino akan mengejeknya seperti biasa.

Komentar

Postingan Populer