Keinginan

Hari ini, mading sekolah memajang sebuah poster baru dari klub musik. Poster tersebut berisi pengumuman tentang audisi untuk merekrut anggota baru. Gitaris lama mereka pindah sekolah ke tempat di mana ayahnya bekerja, dan klub musik harus mencari penggantinya. Fauzi yang memang memiliki bakat dalam bermain gitar tertarik untuk mengikuti audisi. Saat makan malam, ia membicarakan rencananya itu pada kedua orang tuanya.

"Tidak boleh," tolak sang ayah tegas, begitu Fauzi selesai menceritakan semuanya.

"Kenapa?" tanya Fauzi meminta penjelasan.

"Karena pelajaran akademikmu akan terbengkalai, Nak." Sang ibu menatapnya serius. "Kamu akan banyak menghabiskan waktu dengan kegiatan klub, dan pada akhirnya tidak memiliki waktu untuk belajar."

"Tapi, aku bisa membagi waktuku, Bu. Aku sudah SMP, bukan anak SD lagi." Fauzi menyuarakan protesnya.

"Sekali tidak, tetap tidak. Kamu tidak bisa menentang keputusan kami, nak." Gantian sang ayah yang bicara.

Merasa tidak ada lagi peluang untuk membujuk mereka, Fauzi menghela napas perlahan. "Baiklah," ujarnya, walau diiringi dengan perasaan tak rela.

Malam berganti menjadi pagi, kemudian berubah menjadi siang. Fauzi melangkahkan kaki menuju gerbang sekolah, bermaksud untuk menemui sang ibu yang biasa mengantarnya pulang ke rumah. Hingga, getaran ponsel di saku celana membuatnya berhenti berjalan.

'Fauzi, Ibu akan terlambat menjemputmu. Karena di kantor ada meeting dadakan. Maaf.' Begitulah isi pesan yang terbaca di ponselnya.

Fauzi merasa bahwa ini adalah kesempatan emas baginya. Segera ia berlari menuju ruang klub musik, tempat audisi itu diadakan. Ia membuka pintu dengan keras, membuat penghuni di dalamnya terlonjak kaget.

"Selamat siang! Saya ingin mengikuti audisi untuk gitaris!" seru Fauzi bersemangat.

Salah satu senior di sana membalas perkataannya. "Oh, baiklah. Kalau begitu, silakan masuk dan mainkan itu. Kami akan menilai penampilanmu," jelas sang senior sambil menunjuk ke arah sebuah gitar yang bersandar tenang di atas bangku.

Tanpa basa-basi lagi, Fauzi langsung meraih gitar itu, duduk di atas bangku, dan memainkan lagu 'A Whole New World' karangan Peabo Bryson dan Regina Belle. Begitu selesai, terdengar suara tepuk tangan dari pojok ruangan.

"Wow, luar biasa!" Ternyata, itu berasal dari seorang gadis yang juga merupakan anggota klub musik. Sejak tadi ia menilai penampilan Fauzi, dan merasa terpukau dengan permainannya.

"T - terima kasih." Fauzi membungkuk sedikit. Wajahnya memerah malu karena dipuji.

"Hmm... dia berbakat. Perlukah kita merekrutnya?" tanya sang senior kepada seorang wanita yang merupakan teman kelasnya.

"Kenapa tidak?" Wanita tadi menyeringai senang. "Selamat, kamu diterima, anu..."

"Namaku Fauzi," ujarnya singkat. "Mohon bantuannya, kakak-kakak sekalian."

"Ya! Aku akan sangat senang membantumu, junior!" Tiba-tiba, sang gadis sudah berdiri di samping Fauzi, dan menepuk bahunya kencang.

"Hei-!" keluh Fauzi sambil meringis kecil.

"Haha, apanya yang junior? Kalian kan sekelas," komentar sang senior sambil tertawa.

"Hehe, benar juga." Gadis tadi ikut menertawai kesalahannya.

Sang wanita hanya menggeleng pelan, maklum dengan sikap juniornya itu. "Baiklah, selamat datang di klub musik, Fauzi."

Fauzi mengangguk mantap. "Terima kasih banyak!"

Mulai hari ini, ia akan membuktikan pada orang tuanya, bahwa ia tetap bisa membanggakan prestasinya di bidang akademik walau mengikuti sebuah klub. Ia juga akan berjuang keras sebagai gitaris, demi anggota klub musik lain yang telah ada sebelum dia.

'Yah, tapi merahasiakan soal klub ini dari ayah dan ibu tidak ada salahnya. Setidaknya untuk saat ini.'

Komentar

Postingan Populer