Salju
Pairing : Itona x Ai (Husbu x OC!Persona)
Horibe Itona © Ansatsu Kyoushitsu / Assasination ClassroomAnskyou / AC © Matsui Yūsei
A little bit crosscover with Utaite
Malam ini, salju turun dengan lebat di daerah Tokyo. Banyak orang lebih memilih untuk berdiam diri di rumah, menghangatkan badan dengan ocha dan bergelung di bawah kotatsu. Itu juga hal yang diharapkan oleh karakter utama kita, mengingat cuacanya sangat dingin sekarang. Namun sayangnya, ia terjebak di sebuah konbini yang letaknya lumayan jauh dari rumahnya.
Gadis berkacamata itu menghela napas sejenak. Uap putih keluar dari mulutnya. Walau sudah berkali-kali dilihat, tetap saja menjadi sebuah pemandangan yang menarik bagi gadis itu. Jarang-jarang ia bisa bernapas hingga mengeluarkan uap putih, kecuali bila udaranya sangat dingin.
Tangan kanannya mengeratkan ikatan syal yang ia pakai di leher, sedangkan tangan kirinya menenteng kantung belanjaan yang diduga merupakan titipan dari sepupunya di rumah. Ia selalu merengut begitu mengingat alasan sang sepupu menyuruhnya untuk pergi ke konbini.
'Sora-nii sialan! Mentang-mentang mager, nyuruh anak orang sembarangan,' umpat gadis itu dalam hati sambil menghentakkan kakinya ke lantai yang tidak bersalah. Jika saja kakak sepupunya itu tidak mengiming-imingnya dengan sekantung permen mint kesukaannya, dia pasti tengah menonton acara spesial tahun baru di televisi saat ini.
Yah, nasi sudah menjadi bubur. Dia telah mengiyakan permintaan Soraru, dan tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain memakan bubur- maksudku menjalankan apa yang sepupunya minta. Mana tadi dia lupa membawa payung karena sedang buru-buru, dan stok payung di konbini tempat ia berteduh sudah habis. Haha, sepertinya main character kita ini benar-benar kena sial, ya?
Ingatkan dia untuk mengambil alih hak asuh hanpen milik sang sepupu ketika pulang nanti. Mau dia marah atau ngambek, gadis itu tak peduli. Yang penting, dia bisa balas dendam pada lelaki itu.
Manik merahnya menatap langit yang tak bosan-bosannya menumpahkan butiran salju. Angin dingin kembali berhembus, membuatnya refleks mengeratkan ikatan syalnya sekali lagi. Lehernya nyaris tercekik, namun mau bagaimana lagi. Tubuhnya sangat peka terhadap udara dingin, terutama di bagian leher. Setelah ini, mungkin ia akan demam karena suhu rendah yang terus ia terima.
Gadis itu kembali menghela napas. 'Andai saja ada seseorang yang mau meminjamkan payung untukku,' batinnya penuh harap. Ia ingin segera pulang, supaya bisa menghangatkan diri dan menjitak sepupunya.
Dan sepertinya, sang penulis tengah berbaik hati kepada gadis surai hitam itu. Dari kejauhan, ia bisa melihat siluet seorang pemuda yang terlihat familiar di mata sang gadis. Dan lebih baiknya lagi, pemuda tersebut memegangi payung yang terbuka di atas kepala untuk melindungi tubuhnya dari butiran salju yang turun.
"Oh? Ai-san?" Daripada terdengar sebagai sapaan, itu lebih seperti sebuah pertanyaan untuk sang gadis.
"Ah, konbanwa, Itona-senpai." Ai membungkukkan tubuhnya 45°, menunjukkan bahwa ia menghormati pemuda yang ia sebut sebagai senpai itu. Itona hanya mengangguk sambil balas mengucapkan 'selamat malam' padanya.
"Kenapa kamu bisa ada di sini?" Sebuah pertanyaan basa-basi dilontarkan oleh Itona. Walau begitu, ia memang penasaran dengan alasan yang akan dikatakan oleh Ai sebagai jawaban atas pertanyaannya.
"Aku sedang membeli beberapa barang titipan dari Sora-nii. Tapi, aku lupa bawa payung karena buru-buru. Tak kusangka saljunya akan turun selebat ini." Sang gadis menghela napas, mengekspresikan penyesalan akan perbuatannya pada sang pemuda di hadapan.
"Sou..." Itona mengangguk paham. "Mau sepayung denganku saja? Akan kuantar sampai rumah."
"Eh? T - tidak perlu repot-repot, Senpai. Aku bisa menunggu sampai saljunya reda, kok," tolak Ai halus. Walau tadi ia sampai mengumpat pada sepupunya karena membuat dirinya terjebak di tengah hujan salju yang lebat, tetap saja sopan santun adalah yang nomor satu. Ini adalah strategi jitu miliknya saat orang lain menawarkan sesuatu-—ditolak dulu, kemudian diterima.
"Aku tahu kamu pasti akan menerima ajakanku ketika aku menawarkan untuk yang kedua kalinya, Ai-san." Manik amber milik Itona menatap sang gadis datar—walau ekspresi yang dia tunjukkan memang selalu datar, sih.
"A - ahaha, Senpai tahu saja." Ai tertawa kaku sambil menggaruk kepalanya. Ternyata, Itona telah banyak mengenal dirinya sejak mereka berteman satu tahun ini. Sasuga na, senpai.
Itona menggeleng pelan, maklum dengan kelakuan adik kelasnya. "Ayo kita pergi sekarang, sebelum malam semakin larut," ajaknya.
"Un!" Ai mengangguk sambil tersenyum. "Ikou yo, Senpai."
Ai hendak melangkah mendekati Itona, namun tertahan karena angin kencang yang menerpa mereka tanpa peringatan.
"Senpai! Payungnya terbang!" Ai berseru panik begitu menyadari bahwa benda itu terlepas dari pegangan Itona. Tanpa basa-basi lagi, sang pemuda langsung mengejar payung berwarna biru yang tengah 'to be fly high' itu, tak peduli rambut dan bajunya yang kini tertimpa butiran salju. Ai pun ikut serta, dengan tangan kirinya yang masih setia menggenggam kantung belanjaan. Untung tidak ikut terbang bersama payung tadi.
"Hoi, payung! Matte yo!" seru sang gadis sembari berlari mengejar payung itu.
"Kau teriaki berapa kali pun tak akan berhenti itu payung, Ai-san!" Itona balas berseru, membuat beberapa orang yang lewat menatap mereka dengan pandangan aneh. Namun, kedua remaja ini tidak peduli. Yang mereka pikirkan saat ini hanyalah cara untuk mendapatkan kembali payung milik sang pemuda.
Omong-omong, kenapa aku malah membayangkan payung itu sebagai layang-layang, ya?
"Ha - hachiiuu!"
Itona menoleh ke arah gadis yang tengah jalan bersisian dengannya. "Dingin?"
"I - iya." Ai membenamkan separuh wajahnya ke dalam syal, berusaha mencari kehangatan. Wajahnya terasa seperti membeku sekarang.
"Lagian, kenapa kamu ikut ngejar tadi? Jadi kedinginan kan sekarang," ujar Itona.
"Hehe, tadi gak terlalu sadar. Serasa ngejar layangan soalnya." Ai tertawa sambil menggaruk pipinya dengan jari telunjuk. Sekilas terbayang kenangan semasa TK ketika dia dan teman-temannya mengejar layangan tak bertuan yang terbang karena talinya putus. Sayang mereka tidak mendapatkan layang-layang itu.
Itona mengernyitkan alis. "Buat apa ngejar layangan?"
"Ya... untuk senang-senang saja, hehe." Untuk yang kedua kalinya, Ai menjawab pertanyaan kakak kelasnya itu sambil tertawa.
Sang pemuda mendengus, menahan keinginan untuk ikut tertawa. "Dasar, ada-ada saja."
----
Gadis berkacamata itu menghela napas sejenak. Uap putih keluar dari mulutnya. Walau sudah berkali-kali dilihat, tetap saja menjadi sebuah pemandangan yang menarik bagi gadis itu. Jarang-jarang ia bisa bernapas hingga mengeluarkan uap putih, kecuali bila udaranya sangat dingin.
Tangan kanannya mengeratkan ikatan syal yang ia pakai di leher, sedangkan tangan kirinya menenteng kantung belanjaan yang diduga merupakan titipan dari sepupunya di rumah. Ia selalu merengut begitu mengingat alasan sang sepupu menyuruhnya untuk pergi ke konbini.
'Sora-nii sialan! Mentang-mentang mager, nyuruh anak orang sembarangan,' umpat gadis itu dalam hati sambil menghentakkan kakinya ke lantai yang tidak bersalah. Jika saja kakak sepupunya itu tidak mengiming-imingnya dengan sekantung permen mint kesukaannya, dia pasti tengah menonton acara spesial tahun baru di televisi saat ini.
Yah, nasi sudah menjadi bubur. Dia telah mengiyakan permintaan Soraru, dan tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain memakan bubur- maksudku menjalankan apa yang sepupunya minta. Mana tadi dia lupa membawa payung karena sedang buru-buru, dan stok payung di konbini tempat ia berteduh sudah habis. Haha, sepertinya main character kita ini benar-benar kena sial, ya?
Ingatkan dia untuk mengambil alih hak asuh hanpen milik sang sepupu ketika pulang nanti. Mau dia marah atau ngambek, gadis itu tak peduli. Yang penting, dia bisa balas dendam pada lelaki itu.
Manik merahnya menatap langit yang tak bosan-bosannya menumpahkan butiran salju. Angin dingin kembali berhembus, membuatnya refleks mengeratkan ikatan syalnya sekali lagi. Lehernya nyaris tercekik, namun mau bagaimana lagi. Tubuhnya sangat peka terhadap udara dingin, terutama di bagian leher. Setelah ini, mungkin ia akan demam karena suhu rendah yang terus ia terima.
Gadis itu kembali menghela napas. 'Andai saja ada seseorang yang mau meminjamkan payung untukku,' batinnya penuh harap. Ia ingin segera pulang, supaya bisa menghangatkan diri dan menjitak sepupunya.
Dan sepertinya, sang penulis tengah berbaik hati kepada gadis surai hitam itu. Dari kejauhan, ia bisa melihat siluet seorang pemuda yang terlihat familiar di mata sang gadis. Dan lebih baiknya lagi, pemuda tersebut memegangi payung yang terbuka di atas kepala untuk melindungi tubuhnya dari butiran salju yang turun.
"Oh? Ai-san?" Daripada terdengar sebagai sapaan, itu lebih seperti sebuah pertanyaan untuk sang gadis.
"Ah, konbanwa, Itona-senpai." Ai membungkukkan tubuhnya 45°, menunjukkan bahwa ia menghormati pemuda yang ia sebut sebagai senpai itu. Itona hanya mengangguk sambil balas mengucapkan 'selamat malam' padanya.
"Kenapa kamu bisa ada di sini?" Sebuah pertanyaan basa-basi dilontarkan oleh Itona. Walau begitu, ia memang penasaran dengan alasan yang akan dikatakan oleh Ai sebagai jawaban atas pertanyaannya.
"Aku sedang membeli beberapa barang titipan dari Sora-nii. Tapi, aku lupa bawa payung karena buru-buru. Tak kusangka saljunya akan turun selebat ini." Sang gadis menghela napas, mengekspresikan penyesalan akan perbuatannya pada sang pemuda di hadapan.
"Sou..." Itona mengangguk paham. "Mau sepayung denganku saja? Akan kuantar sampai rumah."
"Eh? T - tidak perlu repot-repot, Senpai. Aku bisa menunggu sampai saljunya reda, kok," tolak Ai halus. Walau tadi ia sampai mengumpat pada sepupunya karena membuat dirinya terjebak di tengah hujan salju yang lebat, tetap saja sopan santun adalah yang nomor satu. Ini adalah strategi jitu miliknya saat orang lain menawarkan sesuatu-—ditolak dulu, kemudian diterima.
"Aku tahu kamu pasti akan menerima ajakanku ketika aku menawarkan untuk yang kedua kalinya, Ai-san." Manik amber milik Itona menatap sang gadis datar—walau ekspresi yang dia tunjukkan memang selalu datar, sih.
"A - ahaha, Senpai tahu saja." Ai tertawa kaku sambil menggaruk kepalanya. Ternyata, Itona telah banyak mengenal dirinya sejak mereka berteman satu tahun ini. Sasuga na, senpai.
Itona menggeleng pelan, maklum dengan kelakuan adik kelasnya. "Ayo kita pergi sekarang, sebelum malam semakin larut," ajaknya.
"Un!" Ai mengangguk sambil tersenyum. "Ikou yo, Senpai."
Ai hendak melangkah mendekati Itona, namun tertahan karena angin kencang yang menerpa mereka tanpa peringatan.
"Senpai! Payungnya terbang!" Ai berseru panik begitu menyadari bahwa benda itu terlepas dari pegangan Itona. Tanpa basa-basi lagi, sang pemuda langsung mengejar payung berwarna biru yang tengah 'to be fly high' itu, tak peduli rambut dan bajunya yang kini tertimpa butiran salju. Ai pun ikut serta, dengan tangan kirinya yang masih setia menggenggam kantung belanjaan. Untung tidak ikut terbang bersama payung tadi.
"Hoi, payung! Matte yo!" seru sang gadis sembari berlari mengejar payung itu.
"Kau teriaki berapa kali pun tak akan berhenti itu payung, Ai-san!" Itona balas berseru, membuat beberapa orang yang lewat menatap mereka dengan pandangan aneh. Namun, kedua remaja ini tidak peduli. Yang mereka pikirkan saat ini hanyalah cara untuk mendapatkan kembali payung milik sang pemuda.
Omong-omong, kenapa aku malah membayangkan payung itu sebagai layang-layang, ya?
***
"Ha - hachiiuu!"
Itona menoleh ke arah gadis yang tengah jalan bersisian dengannya. "Dingin?"
"I - iya." Ai membenamkan separuh wajahnya ke dalam syal, berusaha mencari kehangatan. Wajahnya terasa seperti membeku sekarang.
"Lagian, kenapa kamu ikut ngejar tadi? Jadi kedinginan kan sekarang," ujar Itona.
"Hehe, tadi gak terlalu sadar. Serasa ngejar layangan soalnya." Ai tertawa sambil menggaruk pipinya dengan jari telunjuk. Sekilas terbayang kenangan semasa TK ketika dia dan teman-temannya mengejar layangan tak bertuan yang terbang karena talinya putus. Sayang mereka tidak mendapatkan layang-layang itu.
Itona mengernyitkan alis. "Buat apa ngejar layangan?"
"Ya... untuk senang-senang saja, hehe." Untuk yang kedua kalinya, Ai menjawab pertanyaan kakak kelasnya itu sambil tertawa.
Sang pemuda mendengus, menahan keinginan untuk ikut tertawa. "Dasar, ada-ada saja."
Itona kembali menatap ke arah depan, memperhatikan trotoar yang dipenuhi oleh tumpukan salju. Dari kejauhan, ia bisa melihat lampu penyeberangan jalan yang tengah memancarkan cahaya berwarna merah.
"Kita menyeberang di sana, kan?" Itona menunjuk lampu penyeberangan itu.
"Oh? Iya iya. Betul di sana, Senpai." Ai mengangguk membenarkan.
Mereka menghampiri lampu penyeberangan jalan itu. Begitu sampai, dengan cekatan Ai menekan tombol yang ada pada tiang lampu itu. Lampu penyeberangan berganti warna menjadi hijau, dan bersama-sama mereka melangkah ke sisi lain jalan melalui zebra cross.
"Karena kita tidak bisa gandengan, setidaknya pegang tanganku, ya," pinta Itona.
Ai terpaku sejenak. "Eh? O - oh. Iya, Senpai." Perlahan, Ai menyentuh tangan kiri sang pemuda yang tengah memegang gagang payungnya. Gadis itu mengikis jarak di antara mereka, membuat bahunya dengan Itona saling menempel satu sama lain.
Wajah Ai sedikit memerah, akibat udara dingin dan rasa malunya terhadap posisi ini. Itona di sebelahnya hanya memasang ekspresi datar seperti biasa, walau jantungnya berdegup kencang karena ia senang bisa sedekat ini dengan orang yang ia sukai.
Tinggal beberapa langkah lagi untuk sampai di akhir garis putih zebra cross. Namun tiba-tiba, sebuah mobil melaju tak terkendali ke arah mereka.
"Awas!" Dengan sigap, Itona langsung merengkuh Ai ke dalam pelukannya, dan melompat ke depan untuk menghindari tabrakan dengan mobil tersebut. Mereka berdua terjatuh di atas gumpalan salju dengan napas terengah, akibat pacuan adrenalin dari kejadian singkat tadi.
"Daijobu desu ka?" tanya Itona.
"Ha - hai'," jawab Ai sambil bangkit dari posisinya—kini ia terduduk di atas hamparan salju. Dadanya naik-turun, berusaha menghirup lebih banyak oksigen di sekitarnya.
Mobil tadi berhenti di tengah jalan. Seorang pria muda bergegas turun dari kendaraan itu, dan menghampiri mereka berdua. Raut khawatir terlihat kentara di wajahnya.
"Apa kalian berdua baik-baik saja?"
Perlahan, Itona mengubah posisinya menjadi duduk. "Iya, kami baik-baik saja."
"Oh, syukurlah." Pria tadi menghembuskan napas lega. "Aku sungguh minta maaf atas kejadian tadi. Jalanannya licin dan aku tidak terlalu memperhatikan lampu lalu lintas. Aku jadi membahayakan kalian." Ia membungkuk 90° pada mereka.
"Tidak apa, Paman." Ai menggeleng dan tersenyum. "Yang penting kita semua baik-baik saja."
"Yah..., tapi sepertinya belanjaanmu tidak baik-baik saja." Komentar dari Itona membuat Ai dan pria tak dikenal itu menoleh ke arah barang-barang yang berserakan di tengah jalan. Beberapa di antaranya ada yang telah rusak, tumpah, dan tak layak pakai lagi. Dipungut pun percuma.
"Be - belanjaanku...," lirih gadis itu sambil menatap murung belanjaannya.
"A - aku akan bertanggung jawab. Akan kuganti barangmu," ujar yang paling tua.
Ai menoleh ke arah si pria. "Hontou? Arigatou, Paman!" Lagi-lagi ia memberikan senyuman manisnya kepada pria muda itu, membuat Itona merasa panas karena interaksi mereka.
'Tak perlu iri padanya, Itona. Usia mereka terpaut jauh. Kesempatan untukmu masih terbuka lebar.' Sang pemuda berusaha menenangkan pikirannya yang tak karuan. Efek cemburu karena gebetan didekati oleh orang lain memang luar biasa, ya. Tak pandang umur, pula.
"Ayo kita pergi sekarang. Naik mobilku saja, supaya cepat sampai." Sang pria mengajak kedua insan berbeda gender itu. Ai membalasnya dengan anggukan riang dan melangkahkan kakinya menuju mobil yang terparkir itu dengan senang hati. Sedangkan, Itona menyusul setelah lebih dulu mengambil payungnya yang tertancap di atas tumpukan salju.
Ai melahap bakpao daging yang berada di dalam genggaman tangan kirinya. "Bwakhao ihi ehak hekayi!"
Itona menatap datar gadis di sebelahnya. "Telan dulu. Suaramu tak jelas, Ai-san."
Mengikuti instruksi Itona, dengan cepat Ai menelan makanannya. "Bakpaonya enak!" komentarnya riang.
"Hn." Itona hanya membalasnya dengan gumaman pelan, dan lanjut menggigit bakpao yang berada di tangannya.
Kini, langit telah berhenti menumpahkan salju. Itona menggantungkan payungnya di lengan kanan, karena memang sudah tidak diperlukan. Walau begitu, ia tetap bersikeras untuk mengantar Ai, dan gadis itu tak bisa menolak juga.
"Hee..., kenapa hanya bilang begitu?" Ai menggembungkan pipinya, sedikit kesal dengan reaksi sang pemuda yang terlihat biasa saja.
"Memangnya aku harus berkata apa?" Itona balas bertanya. Gadis berkacamata itu terlihat kehabisan kata-kata untuk membalas si surai pirang platinum, membuat keheningan tercipta di antara mereka.
Mengheningkan cipta, mulai—
"Omong-omong, Paman itu baik juga. Kita diberi tumpangan, dibelanjakan bakpao ini, dan dia juga mengganti belanjaanmu." Itona kembali menggigit bakpaonya. Sepertinya ia sudah tak mempermasalahkan soal kejadian itu lagi.
"Uhm! Dia orang yang baik." Ai membalas perkataan Itona sambil tersenyum. "Kalau kita bertemu dengannya suatu saat nanti, kita harus mengucapkan terima kasih lagi padanya."
Itona melirik sang gadis dari ekor matanya. Lalu, ia kembali menatap ke arah depan. Keduanya kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Ai dengan bakpaonya, sedangkan Itona dengan pikirannya.
"Ne, Ai-san," panggil Itona, membuat atensi sang gadis beralih padanya. Tanpa sadar, mereka berdua menghentingkan kaki yang sedari tadi melangkah.
"Akeome, kotoyoro."
Ai terdiam sejenak. Tak lama, sebuah senyuman hangat terbit di wajahnya, membuat dada Itona ikut terasa hangat.
"Hai'. Mohon bantuan untuk ke depannya, Senpai." Ai menundukkan kepalanya sedikit ke arah Itona. Ia benar-benar serius dengan ucapannya itu.
Tangan kiri Itona bergerak, menyentuh pucuk kepala sang gadis, dan mengelusnya perlahan. Yang dielus pun sama sekali tidak keberatan. Ai memejamkan manik merahnya, menikmati usapan dari kakak kelasnya itu.
"Tetaplah di sampingku, dan aku akan terus membantumu."
"Sepakat."
Angin dingin yang berhembus malam itu tak lagi terasa oleh mereka berdua. Kehangatan akibat pertemuan yang tak disengaja ini akan selalu membekas di hati masing-masing insan. Selalu, bahkan ketika mereka memutuskan untuk menempuh masa depan masing-masing.
'Daisuki da yo.'
"Kita menyeberang di sana, kan?" Itona menunjuk lampu penyeberangan itu.
"Oh? Iya iya. Betul di sana, Senpai." Ai mengangguk membenarkan.
Mereka menghampiri lampu penyeberangan jalan itu. Begitu sampai, dengan cekatan Ai menekan tombol yang ada pada tiang lampu itu. Lampu penyeberangan berganti warna menjadi hijau, dan bersama-sama mereka melangkah ke sisi lain jalan melalui zebra cross.
"Karena kita tidak bisa gandengan, setidaknya pegang tanganku, ya," pinta Itona.
Ai terpaku sejenak. "Eh? O - oh. Iya, Senpai." Perlahan, Ai menyentuh tangan kiri sang pemuda yang tengah memegang gagang payungnya. Gadis itu mengikis jarak di antara mereka, membuat bahunya dengan Itona saling menempel satu sama lain.
Wajah Ai sedikit memerah, akibat udara dingin dan rasa malunya terhadap posisi ini. Itona di sebelahnya hanya memasang ekspresi datar seperti biasa, walau jantungnya berdegup kencang karena ia senang bisa sedekat ini dengan orang yang ia sukai.
Tinggal beberapa langkah lagi untuk sampai di akhir garis putih zebra cross. Namun tiba-tiba, sebuah mobil melaju tak terkendali ke arah mereka.
"Awas!" Dengan sigap, Itona langsung merengkuh Ai ke dalam pelukannya, dan melompat ke depan untuk menghindari tabrakan dengan mobil tersebut. Mereka berdua terjatuh di atas gumpalan salju dengan napas terengah, akibat pacuan adrenalin dari kejadian singkat tadi.
"Daijobu desu ka?" tanya Itona.
"Ha - hai'," jawab Ai sambil bangkit dari posisinya—kini ia terduduk di atas hamparan salju. Dadanya naik-turun, berusaha menghirup lebih banyak oksigen di sekitarnya.
Mobil tadi berhenti di tengah jalan. Seorang pria muda bergegas turun dari kendaraan itu, dan menghampiri mereka berdua. Raut khawatir terlihat kentara di wajahnya.
"Apa kalian berdua baik-baik saja?"
Perlahan, Itona mengubah posisinya menjadi duduk. "Iya, kami baik-baik saja."
"Oh, syukurlah." Pria tadi menghembuskan napas lega. "Aku sungguh minta maaf atas kejadian tadi. Jalanannya licin dan aku tidak terlalu memperhatikan lampu lalu lintas. Aku jadi membahayakan kalian." Ia membungkuk 90° pada mereka.
"Tidak apa, Paman." Ai menggeleng dan tersenyum. "Yang penting kita semua baik-baik saja."
"Yah..., tapi sepertinya belanjaanmu tidak baik-baik saja." Komentar dari Itona membuat Ai dan pria tak dikenal itu menoleh ke arah barang-barang yang berserakan di tengah jalan. Beberapa di antaranya ada yang telah rusak, tumpah, dan tak layak pakai lagi. Dipungut pun percuma.
"Be - belanjaanku...," lirih gadis itu sambil menatap murung belanjaannya.
"A - aku akan bertanggung jawab. Akan kuganti barangmu," ujar yang paling tua.
Ai menoleh ke arah si pria. "Hontou? Arigatou, Paman!" Lagi-lagi ia memberikan senyuman manisnya kepada pria muda itu, membuat Itona merasa panas karena interaksi mereka.
'Tak perlu iri padanya, Itona. Usia mereka terpaut jauh. Kesempatan untukmu masih terbuka lebar.' Sang pemuda berusaha menenangkan pikirannya yang tak karuan. Efek cemburu karena gebetan didekati oleh orang lain memang luar biasa, ya. Tak pandang umur, pula.
"Ayo kita pergi sekarang. Naik mobilku saja, supaya cepat sampai." Sang pria mengajak kedua insan berbeda gender itu. Ai membalasnya dengan anggukan riang dan melangkahkan kakinya menuju mobil yang terparkir itu dengan senang hati. Sedangkan, Itona menyusul setelah lebih dulu mengambil payungnya yang tertancap di atas tumpukan salju.
***
Ai melahap bakpao daging yang berada di dalam genggaman tangan kirinya. "Bwakhao ihi ehak hekayi!"
Itona menatap datar gadis di sebelahnya. "Telan dulu. Suaramu tak jelas, Ai-san."
Mengikuti instruksi Itona, dengan cepat Ai menelan makanannya. "Bakpaonya enak!" komentarnya riang.
"Hn." Itona hanya membalasnya dengan gumaman pelan, dan lanjut menggigit bakpao yang berada di tangannya.
Kini, langit telah berhenti menumpahkan salju. Itona menggantungkan payungnya di lengan kanan, karena memang sudah tidak diperlukan. Walau begitu, ia tetap bersikeras untuk mengantar Ai, dan gadis itu tak bisa menolak juga.
"Hee..., kenapa hanya bilang begitu?" Ai menggembungkan pipinya, sedikit kesal dengan reaksi sang pemuda yang terlihat biasa saja.
"Memangnya aku harus berkata apa?" Itona balas bertanya. Gadis berkacamata itu terlihat kehabisan kata-kata untuk membalas si surai pirang platinum, membuat keheningan tercipta di antara mereka.
Mengheningkan cipta, mulai—
"Omong-omong, Paman itu baik juga. Kita diberi tumpangan, dibelanjakan bakpao ini, dan dia juga mengganti belanjaanmu." Itona kembali menggigit bakpaonya. Sepertinya ia sudah tak mempermasalahkan soal kejadian itu lagi.
"Uhm! Dia orang yang baik." Ai membalas perkataan Itona sambil tersenyum. "Kalau kita bertemu dengannya suatu saat nanti, kita harus mengucapkan terima kasih lagi padanya."
Itona melirik sang gadis dari ekor matanya. Lalu, ia kembali menatap ke arah depan. Keduanya kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Ai dengan bakpaonya, sedangkan Itona dengan pikirannya.
"Ne, Ai-san," panggil Itona, membuat atensi sang gadis beralih padanya. Tanpa sadar, mereka berdua menghentingkan kaki yang sedari tadi melangkah.
"Akeome, kotoyoro."
Ai terdiam sejenak. Tak lama, sebuah senyuman hangat terbit di wajahnya, membuat dada Itona ikut terasa hangat.
"Hai'. Mohon bantuan untuk ke depannya, Senpai." Ai menundukkan kepalanya sedikit ke arah Itona. Ia benar-benar serius dengan ucapannya itu.
Tangan kiri Itona bergerak, menyentuh pucuk kepala sang gadis, dan mengelusnya perlahan. Yang dielus pun sama sekali tidak keberatan. Ai memejamkan manik merahnya, menikmati usapan dari kakak kelasnya itu.
"Tetaplah di sampingku, dan aku akan terus membantumu."
"Sepakat."
Angin dingin yang berhembus malam itu tak lagi terasa oleh mereka berdua. Kehangatan akibat pertemuan yang tak disengaja ini akan selalu membekas di hati masing-masing insan. Selalu, bahkan ketika mereka memutuskan untuk menempuh masa depan masing-masing.
'Daisuki da yo.'
Komentar
Posting Komentar
Silakan kritik dan sarannya~