Menunggu

"Apa kau harus benar-benar pergi?" Pemuda di depanku menatapku sendu. 

"Iya." Aku mengangguk mantap. Keputusanku sudah bulat. Aku akan tetap pergi menuju Amsterdam untuk berkuliah di sana. Itu sudah lama menjadi impianku, dan kini mimpi itu akan terwujud sebentar lagi.

"Tenang saja, kita akan terus bertukar kabar. Aku bukannya ingin ke medan perang, kau tahu?" Aku terkekeh sembari mengelus pipi pemuda itu, bermaksud menenangkannya.

"Benar juga." Senyuman kecil terbit di wajahnya, dan ia ikut terkekeh.

Aku menarik kembali tanganku. "Selama aku pergi, jaga kesehatanmu. Makan yang benar, istirahat yang cukup, dan jangan memaksakan dirimu. Oke?" pesanku padanya.

"Iya, San. Aduh, calon istriku perhatian banget, sih. Jadi gak sabar nunggu kamu pulang nanti." Pemuda itu--Raffa--menggodaku sambil mengelus kepalaku pelan.

"A - apa sih! Aku belum berangkat juga, udah nunggu pulang aja." Aku merengut dengan wajah memerah karena malu. Raffa kalau sudah menggombal memang keterlaluan, membuat jantungku simulasi gempa.

Raffa kembali terkekeh, lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaketnya.

"Selama di sana, jaga hatimu. Ingat, calon suamimu menunggu di sini." Kini gantian ia yang berpesan padaku.

Aku tersenyum, sudah kuduga ia akan bilang seperti itu. Mau bagaimana pun kita sudah bertunangan. Tanpa disuruh pun aku tidak akan membiarkan diriku jatuh hati kepada lelaki lain.

"Nggih, mas." Aku mengangguk takzim. Raffa melempar senyuman padaku, merasa senang dengan jawaban yang kuberikan. Aku membalasnya dengan senyuman juga.

"Your attention please, passengers of Garuda Indonesia on flight number GA884 to Amsterdam please boarding from door E12. Thank you."

"Perhatian, para penumpang pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA884 tujuan Amsterdam dipersilahkan naik ke pesawat udara melalui pintu E12. Terima kasih."

"Ah, itu pesawatku," ujarku padanya.

"Begitu." Raffa berujar lirih. Ekspresi sendunya perlahan kembali. Sepertinya dia benar-benar keberatan untuk melepasku pergi.

"Hei," panggilku padanya. "Mau berpelukan?" Aku merentangkan tanganku. Setidaknya hanya ini yang bisa kulakukan untuk menenangkannya.

Raffa mendekatiku, dan mendekapku ke dalam pelukannya. Aku bisa mendengar deru napasnya yang agak berat, dan isakan tangis yang kecil.

"Aku akan selalu menunggumu di sini. Kau tahu, kan?" bisiknya dengan suaranya yang agak bergetar.

"Iya." Aku balas berbisik di telinganya, sembari mengusap punggungnya lembut. "Tolong tunggu aku, ya."

Setelah beberapa saat, kami melepas pelukan. Raffa masih terisak, dan mengusap air matanya yang sedikit menetes dengan ujung bajunya.

"Jadi... sampai jumpa lagi." Aku memberikan senyum terakhirku padanya, lalu menarik koperku dan berjalan menuju pesawat. Dari kejauhan, bisa kulihat Raffa yang berusaha membalas senyumku, walaupun setelahnya ia kembali menumpahkan air mata.

Aku terisak, diam-diam mengusap air mata yang mengalir begitu saja. Sungguh, aku pun berat untuk meninggalkan Raffa. Namun, aku tak bisa merasa seperti ini terus. Bila kita ingin meraih sesuatu, tentu memerlukan pengorbanan, bukan?

Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah melangkah maju. Kesempatanku untuk berkuliah di negeri kincir angin itu sudah ada di depan mata, dan tidak boleh kusia-siakan hanya karena perasaan kami. Aku hanya bisa berharap Raffa akan sanggup menunggu hingga aku kembali ke tanah air.

Raffa, kau pasti akan menungguku, kan? Aku ingin kau terus menungguku, bahkan jika itu hanya ilusi sekalipun.

---

Kurang lebih terinspirasi dari lagu ini, buatan Manami.

Komentar

Postingan Populer